Manfaatkan Even Pesta Pantai, ISI Padang Panjang Taja Seminar Dan Bedah Buku

BENGKALIS,WARTAPENARIAU.com – Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, Sumatera Barat melalui LPPM bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora) Kabupaten Bengkalis menaja kegiatan bedah buku dan seminar Kompang.

Seminar pada even Pesta Pantai 2016 ini merupakan pemaparan hasil penelitian tim dosen di Bengkalis selama 3 tahun. Diprakarsai oleh Dr. Rosta Minawati, S. Sn, M. Si dan Dr. Nursyirwan, S. Pd, M. Sn bersama lima orang mahasiswa yang saat ini ikut terlibat menuntaskan penelitian tersebut.

“Kompang adalah salah satu seni tradisi yang cukup unik dan menarik, karena kompang merupakan seni yang sangat merakyat. Seni kompang yang sangat simpel dan sederhana, menyimpan banyak nilai-nilai tradisi yang mungkin sampai akhir zaman tetap dipedomani dan dipergunakan di tengah masyarakatnya,”kata Rosta Minawati di Pantai Indah Selat Baru.

Rosta menambahkan sampai sekarang, seni musik kompang tetap bertahan dan berkembang di Kabupaten Bengkalis dan seluruh daerah dengan kekhasan masing-masing.

“Dalam penelitian yang kami lakukan, fokusnya adalah performannya permainan kompang ini, keragaman dan keunikan dari beberapa grup kompang dengan lokasi yang berbeda. Beberapa daerah yang kami kunjungi untuk mengambil data-datanya, mulai dari desa Meskom, Rupat, Dumai, Siak, dan dusun Delik Kecamatan Bantan, kita menemukan konsep-konsep permainan kompang yang sangat variatif.

Seni musik kompang sangat menarik di sela-sela perkembangan zaman yang banyak sekali pertunjukan populer misalnya musik orgen maupun musik zapin yang tidak kalah menariknya sebagai musik seni tradisi. Kompang dan zapin yang menjadi tranding topik dan ikon yang telah ke luar dari daerahnya ke tingkat nasional bahkan internasional,”terang Rosta panjang lebarnya.

Rosta Minawati melanjutkan, “Sehingga kami menyeminarkan hasil penelitian ini dengan menampilkan tiga grup kompang dari Delik Kecamatan Bantan tadi yang terdiri dari kelompok anak-anak, dewasa, dan kelompok putri yang dibina selama dua tahun sejak 2015 silam,” bebernya.

Hasil pertemuan bersama tokoh-tokoh kompang dan bedah buku yang dilaksanakan oleh Rosta Minawati dan Nursyirwan teman timnya sejak 4 tahun silam mendapatkan apresiasi yang tinggi.

“Dengan adanya grup kompang putri yang selama ini tidak dilakukan beberapa kelompok lain menjadi nilai plus bahwa pengembangan seni kompang ini tidak hanya masuk ke wilayah gender generasi anak-anak, tetapi juga kepada kaum hawa (perempuan,red),”katanya.

Dalam bedah buku yang digelar di salah satu panggung di Pantai Selat Baru tersebut dihadiri Ahmad Sulaiman, Ismail, Asral Yai Pelimau Sebauk yang merupakan tokoh kompang dan beberapa grup kompang.

“Berdasarkan data dan fakta yang kami temukan di lapangan yang telah dikupas sehingga hasil penelitian tersebut dijadikan sebuah buku yang telah dishare dan dibagikan kepada beberapa guru kompang, dinas pariwisata, dan beberapa instansi terkait untuk dapat dimanfaatkan sebagai sebuah refrensi agar seni kompang ini tidak hanya sebagai sebuah tradisi lisan. Semoga dengan ini tidak memutuskan pandangan-pandangan ke generasi berikutnya,”harapnya.

“Menurut kami sebagai akademisi, itu semua perlu dituangkan dalam bentuk karya tertulis sehingga seni budaya Bengkalis bisa menjadi seni budaya nusantara dan bisa menjadi milik bangsa ini dan membesarkan kebudayaan bangsa Indonesia pada umumnya,”pungkasnya.

Dipilihnya desa Delik sebagai lokasi penelitian bekam menurut dua peneliti yang telah doktor ini karena berdasarkan penelusuran di beberapa daerah tadi mereka melihat daerah Delik ini memiliki keunikan.

“Keunikan tersebut adalah adanya grup kompang perempuan tadi. Kami juga melihat ada sesuatu di luar kebiasaan kelompok kompang lain yaitu adanya anggota grup kompang terdiri dari anak, suami, istri, dan bahkan menantu serta cucunya. Mereka yang berkerabat ini membentuk satu kelompok kompang berdasarkan kerabat darah. Kalau di tempat lain, berdasarkan kesamaan hobi ataupun bakat. Dampaknya sangat luar biasa, bagaimana untuk membangun solidaritas antara sesama sebagai mana yang terjadi pada grup kompang di Delik yang kami teliti kemarin, “puji Rosta Minawati.

“Kita tidak bisa mengkotak-kotakkan dalam memandang seni sebagai sebuah nilai estetika. Ketiga grup kompang tadi memiliki nilai plus sesuai dengan kelompok masing-masing. Di antara ketiga grup kompang tadi dapat dilihat misalnya kelompok dewasa yang lebih matang dan berpengalaman dalam belajar kompang pasti lebih cepat dalam penguasaan bermacam-macam jenis pukulan, kefasihan dalam menabuh kompang, serta powernya akan lebih kuat. Kalau perempuan pula dilihat dari latar belakang berbeda dengan dewasa tadi yang lebih memiliki power. Terus, kalau anak-anak karena masih berusia muda yang belum mempunyai banyak pengalaman tentu mereka memiliki kerumitan tersendiri dalam membuat kekompakan atau juga varian-variaran maupun atraksi yang rumit karena mereka masih belum cukup pengalaman untuk belajar lebih matang,” terangnya.

“Berbicara seni tradisi mempunyai ruang yang bisa ditinggalkan oleh pendukungnya. Tetapi untuk Bengkalis dari penglihatan kita hari ini itu kecil kemungkinannya. Cuma perlu upaya-upaya oleh masyarakat pendukungnya yang bekerja sama dengan pihak terkait untuk bisa menjadikan musik kompang ini sebagai ikonnya seni budaya daerah agar ia bisa tetap eksis sebagai seni budaya yang tidak bisa tertandingi oleh seni-seni budaya dari luar khususnya dari budaya-budaya populer,”paparnya.

Rosta Minawati menegaskan, selama di Delik menemukan pengalaman sebagai seorang peneliti, “Di Delik saya merasakan sesuatu yang unik. Keunikan tersebut adalah bagaimana masyarakat Delik menerima saya dan memberikan data yang kami butuhkan tanpa ada hal-hal yang ditutup-tutupi ketika kami akan menggali seni budaya kompang ini. Kepercayaan dari masyarakat kepada saya dan tim sangat tinggi dalam memberikan keseluruhan data-data yang mereka ketahui. Mereka (sumber/ tokoh kompang, red) tidak ada indikasi menyalahkan data atau saya mendapatkan keuntungan dari kegiatan penelitian ini. Inilah yang membuat saya mendapatkan sesuatu yang luar biasa. Karena beberapa kali saya melakukan penelitian mandiri, sulit untuk mendapatkan data-data transparan dari berbagai pihak karena memang dianggap memiliki celah-celah kepentingan pribadi,”kenang Rosta.

Selama penelitian kompang yang dilakukan Rosta bersama timnya, rasa kekeluargaan, solidaritas dari masyarakat, dan data yang dibutuhkan baik kepada dinas pariwisata maupun lainnya mendapatkan bantuan-bantuan informasi sesuai dengan kebutuhannya.

“Dan saya informasikan bahwa selama setahun di Meskom dan dua tahun di Delik, dinas pariwisata banyak memberikan peta informasi kepada kami. Informan inilah yang memberikan informasi tanpa batas sebagai data yang kami butuhkan. Ucapan terima kasih kami sampaikan atas penyelesaian penelitian kami dari ISI Padang Panjang. Kepada pemerintah terkait yang sejak awal telah memfasilitasi kami untuk bisa masuk melakukan penelitian di Bengkalis secara keseluruhan. Terima kasih juga buat nara sumber kami, Pak Alwi, Pak Ismail, Pak Amir, dan dari kelompok-kelompok kompang yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu yang memberikan informasi maupun data. Menurut kami, tanpa dituliskan pun nama-nama mereka, mereka adalah pejuang-pejuang kompang yang banyak berbuat di belakang layar untuk mengeksiskan kompang,” ungkap Rosta Minawati.

Kepada puluhan atau ratusan grup kompang di Bengkalis, Rosta juga mengucapkan terima kasih.
“Tiga tahun terakhir kami menyaksikan festival kompang yang diikuti ratusan grup kompang yang sangat menakjubkan. Seharusnya itu menjadi inspirasi bagi daerah lain dalam menggali seni potensi daerahnya dengan melakukan festival tadi. Kepada grup kompang teruslah mencari tandingan supaya bisa melestarikan dan mengembangkan seni musik kompang. Bukan hanya mempertahankan seni kebakuan tetapi juga terbuka dengan seni kebakuan sehingga kompang itu bisa hidup dan berkembang di segala zaman dalam arti bukan kita tidak setia dalam seni tradisi yang diwariskan kepada kita tetapi dengan perubahan itu justru mungkin salah satu cara dan upaya untuk bisa mengeksiskan kompang sampai ke anak cucu kita,” pesan Rosta Minawati penuh harap.

Selanjutnya, Dr. Nursyirwan, S. Pd, M. Sn pula menuturkan,” Pendapat saya tentang seni kompang di Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau sebuah apresiasi bagi saya selaku seorang peneliti karena kompang itu adalah milik masyarakat khususnya masyarakat Bengkalis yang menyebar luas ke beberapa daerah,” katanya.

Menambahkan dari statemen Rosta Minawati. Nursyirwan mengatakan, “Pada umumnya ketika ditanya tentang kompang, mereka mengatakan mengetahui cerita kompang ini. Secara ilmiah pula, jawaban mereka memang beragam yang perlu kita satukan. Sebagai seorang peneliti kita akan mengeluarkan bahasa yang akan dikeluarkan nanti bahwa kompang seperti apa dan mau dijadikan seperti apa. Di sini kami berpendapat, kompang itu bisa saja dikembangkan ke mana saja. Mau dijadikan musik, tari, dan lainnya. Seperti apa saja kompang bisa dikembangkan. Kedua, kompang bisa juga dikembangkan dan diteliti dalam sudut pandang apa saja. Sebagai musik bisa, sebagai sebuah kesenian tradisi musik nusantara juga bisa. Mau dikembangkan sebagai musik tari-tarian juga bisa. Jadi banyak peluang sebenarnya tentang kesenian kompang itu sendiri tergantung si peneliti, dia lebih jelimet atau tidak.
“Tentu saja kepada pemain kompang, pengamat, atau pendukung kompang itu sendiri. Kita berharap ini merupakan satu jawaban yang sama sehingga kedepannya tidak hanya menjadi milik Bengkalis tapi juga milik Provinsi Riau yang kita yakini masyarakat Riau mendukungnya,”tambahnya.

Rektor ISI Padang Panjang pula memberikan komentar, “Penelitian dan kajian bidang seni merupakan salah satu tugas perguruan tinggi di Sumatera dan di Indonesia. ISI Padang Panjang merupakan salah satu perguruan tinggi seni yang para dosennya mempelajari peran seni-seni tradisi hampir di semua tempat. Salah satu dosen kami yaitu grup Buk Rosta Minawati dan Nursyirwan melakukan kajian seni kompang tersebut di Bengkalis,’”ungkap rektor Prof. Dr. Novesar Jamarun, MS Sabtu (5/11/2016) malam melalui ponselnya.

“Ini merupakan seni tradisi yang sangat bagus dan perlu kita lestarikan. Saya baru saja melihat topik yang mereka bawakan untuk diseminarkan. Dalam mereka melakukan kajian itu mereka akan mengembalikan kepada masyarakat kembali. Bagaimana masyarakat itu menjadi seni kompang itu milik masyarakat. Yang dilakukan dosen kami dari ISI Padang Panjang merupakan salah satu strategi dalam melestarikan budaya nasional yang sangat tinggi dan sangat tinggi bagi bangsa Indonesia,” tegas profesor lagi. ***(Choirul)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *