JAKARTA,WARTAPENARIAU.com-Aksi Solidaritas Pers Indonesia yang terjadi di Pekanbaru, mendapat tanggapan dari berbagai pihak terkait postingan video sidang dengan agenda keterangan saksi di persidangan Pengadilan Negeri Pekanbaru, yang menjadi viral dikalangan wartawan, sehingga mengundang berbagai pendapat baik dari kalangan insan pers itu sendiri maupun dari para pengamat dan pemerhati Pers.
Yang menjadi sorotan tajam tentu saja isi postingan berupa video tersebut karena adanya perkataan tidak senonoh alias “jorok” yang disampaikan para oknum peserta aksi yang mengatasnamakan Solidaritas Pers Indonesia, pada tanggal 17 September 2018 lalu.
Postingan video yang bernada intimidasi dan tekanan tersebut diterima Ketua Umum Pusat Perkumpulan Jurnalis Indonesia Demokrasi (PP-PJID), Mayusni Tambunan, pada Selasa 2 September 2018, merasa terpanggil untuk mengritisi aksi tersebut karena dianggap kurang pantas dilakukan oleh oknum wartawan.
“Dalam menyampaikan pendapat di depan umum dalam era demokrasi sah-sah saja, tapi gunakanlah bahasa yang santun, dan sopan, wartawan dalam menjalankan tugas jurnalis berdasarkan naluri, agar pemberitaan berimbang dan bukan menebar kebencian seperti postingan yang diterimanya dari warga netizen,”ujar Mayusni.
Dikatakan Mayusni, dalam postingan video tersebut ucapan kata-kata “jorok dengan mencaci maki warga yang dijadikan menjadi saksi bisa diartikan sebagai bentuk intimidasi dan terror”, jika dibiarkan berlanjut menjadi perseden buruk bagi para wartawan lainnya. Selain itu saksi-saksi, merasa takut memberikan kesaksian di muka persidangan.
“Prilaku oknum wartawan yang tidak terpuji dengan mengatasnamakan Solidaritas Pers tersebut jika tidak ditindak lanjuti oleh Kepolisian maka menjadi preseden buruk bagi wartawan lainnya apalagi ucapan “jorok” itu disampaikan dihadapan umum dan dihadapan Polisi alangkah tidak elok bilamana prilaku buruk oknum wartawan tersebut dibiarkan. Saksi mempolisikan oknum wartawan berprilaku tidak terpuji itu untuk menjaga citra wartawan agar tetap terjaga dengan baik didepan publik,”ujar Mayusni
Mayusni Tambunan juga menyoroti adanya pemberitaan yang berulang-ulang yang dilansir harian Berantas on line tanpa melakukan konfirmasi.
“Berita tersebut membosankan para pembaca, apa yang disampaikan Ketua PWI Cabang Riau Zulmansyah Sakgedang sebagai saksi ahli dalam persidangan terkait pengaduan Amril Mukminin Bupati Bengkalis agar berita yang dilansir tidak berulang-ulang patut diapresiasi, bahwa wartawan dalam menjalankan tugasnya wajib bagi wartawan yang profesional harus melakukan konfirmasi, sehingga pemberitaan tersebut tidak berulang-ulang dan semua itu sudah tertuang dalam kode etik berdasarkan Undang-Undang Pokok Pers No.40 tahun 1999,” terang Mayusni digedung Dewan Pers, Selasa (02/10/2018).
“Sebagai wartawan mestinya mereka para wartawan yang turut melakukan aksi menyampaikan pendapat tidak bersikap kasar, sebab wartawan itu bekerja berdasarkan hati nurani, artinya wartawan itu berperilaku baik dan selalu berkata jujur, itulah wartawan,”tegas Ketua PJID pusat kepada awak media ini.
Lanjutnya, sebagai wartawan mestinya faham betul kalau Pers itu bebas dan bertanggung jawab, UU Pokok Pers memberikan ruang itu, bebas tapi dibatasi dengan tanggung jawab.
Mahyuni mengutip catatan Dr. Mudzakkir, S.H., M.H Dosen Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum UII, bahwa “Penerapan hukum pidana kepada orang yang melakukan tindak pidana yang dilakukan dengan cara menyalahgunakan profesi adalah bentuk kejahatan yang berdiri sendiri (tidak ada kaitannya dengan melawan hukum profesi) dan ancaman pidananya diperberat yaitu ditambah sepertiga dari maksimum ancaman pidana yang dimuat dalam pasal yang dilanggar.
Mengakhiri keterangannya Mahyuni Tambunan menyatakan bahwa sesungguhnya tidak ada perseturuan antara Amril Mukminin dengan Toro Laila, yang terlihat adalah bahwa Bupati Bengkalis itu sedang menggunakan hak konstitusinya sebagaimana diatur pasal 28G (1) yang menyebutkan “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.***(Pantas.S)